Kamis, 14 Mei 2015

Bisakah kau Bayangkan rasanya jadi Aku

Kamu pernah menjadi bagian hari-hariku. Setiap malam,
sebelum tidur, kuhabiskan beberapa menit untuk membaca
pesan singkatmu. Tawa kecilmu, kecupan berbentuk tulisan,
dan canda kita selalu membuatku tersenyum diam-diam.
Perasaan ini sangat dalam, sehingga aku memilih untuk
memendam.
Jatuh cinta terjadi karena proses yang cukup panjang, itulah
proses yang seharusnya aku lewati secara alamiah dan
manusiawi. Proses yang panjang itu ternyata tak terjadi,
pertama kali melihatmu; aku tahu suatu saat nanti kita bisa
berada di status yang lebih spesial. Aku terlalu penasaran
ketika mengetahui kehadiranmu mulai mengisi kekosongan
hatiku. Kebahagiaanku mulai hadir ketika kamu menyapaku
lebih dulu dalam pesan singkat. Semua begitu bahagia....
dulu.
Aku sudah berharap lebih. Kugantungkan harapanku padamu.
Kuberikan sepenuhnya perhatianku untukmu. Sayangnya,
semua hal itu seakan tak kaugubris. Kamu di sampingku, tapi
getaran yang kuciptakan seakan tak benar-benar kaurasakan.
Kamu berada di dekatku, namun segala perhatianku seperti
menguap tak berbekas. Apakah kamu benar tidak memikirkan
aku? Bukankah kata teman-temanmu, kamu adalah perenung
yang seringkali menangis ketika memikirkan sesuatu yang
begitu dalam? Temanmu bilang, kamu melankolis, senang
memendam, dan enggan bertindak banyak. Kamu lebih
senang menunggu. Benarkah kamu memang menunggu?
Apalagi yang kautunggu jika kausudah tahu bahwa aku
mencintaimu?
Tuan, tak mungkin kautak tahu ada perasaan aneh di dadaku.
Kekasihku yang belum sempat kumiliki, tak mungkin kautak
memahami perjuangan yang kulakukan untukmu. Kamu ingin
tahu rasanya seperti aku? Dari awal, ketika kita pertama kali
berkenalan, aku hanya ingin melihatmu bahagia. Senyummu
adalah salah satu keteduhan yang paling ingin kulihat setiap
hari. Dulu, aku berharap bisa menjadi salah satu sebab
kautersenyum setiap hari, tapi ternyata harapku terlalu tinggi.
Semua telah berakhir. Tanpa ucapan pisah. Tanpa lambaian
tangan. Tanpa kaujujur mengenai perasaanmu. Perjuanganku
terhenti karena aku merasa tak pantas lagi berada di sisimu.
Sudah ada seseorang yang baru, yang nampaknya jauh lebih
baik dan sempurna daripada aku. Tentu saja, jika dia tak
sempurna—kautak akan memilih dia menjadi satu-satunya
bagimu.
Setelah tahu semua itu, apakah kamu pernah menilik sedikit
saja perasaanku? Ini semua terasa aneh bagiku. Kita yang
dulu sempat dekat, walaupun tak punya status apa-apa,
meskipun berada dalam ketidakjelasan, tiba-tiba menjauh
tanpa sebab. Aku yang terbiasa dengan sapaanmu di pesan
singkat harus (terpaksa) ikhlas karena akhirnya kamu sibuk
dengan kekasihmu. Aku berusaha memahami itu. Setiap hari.
Setiap waktu. Aku berusaha meyakini diriku bahwa semua
sudah berakhir dan aku tak boleh lagi berharap terlalu jauh.
Tuan, jika aku bisa langsung meminta pada Tuhan, aku tak
ingin perkenalan kita terjadi. Aku tak ingin mendengar
suaramu ketika menyebutkan nama. Aku tak ingin membaca
pesan singkatmu yang lugu tapi manis. Sungguh, aku tak
ingin segala hal manis itu terjadi jika pada akhirnya kamu
menghempaskan aku sekeji ini.
Kalau kauingin tahu bagaimana perasaanku, seluruh kosakata
dalam miliyaran bahasa tak mampu mendeskripsikan.
Perasaan bukanlah susunan kata dan kalimat yang bisa
dijelaskan dengan definisi dan arti. Perasaan adalah ruang
paling dalam yang tak bisa tersentuh hanya dengan perkatan
dan bualan. Aku lelah. Itulah perasaanku. Sudahkah
kaupaham? Belum. Tentu saja. Apa pedulimu padaku? Aku
tak pernah ada dalam matamu, aku selalu tak punya tempat
dalam hatimu.
Setiap hari, setiap waktu, setiap aku melihatmu dengannya;
aku selalu berusaha menganggap semua baik-baik saja.
Semua akan berakhir seiring berjalannya waktu. Aku
membayangkan perasaanku yang suatu saat nanti pasti akan
hilang, aku memimpikan lukaku akan segera kering, dan tak
ada lagi hal-hal penyebab aku menangis setiap malam.
Namun.... sampai kapan aku harus terus mencoba?
Sementara ini saja, aku tak kuat melihatmu menggenggam
jemarinya. Sulit bagiku menerima kenyataan bahwa kamu
yang begitu kucintai ternyata malah memilih pergi bersama
yang lain. Tak mudah meyakinkan diriku sendiri untuk segera
melupakanmu kemudian mencari pengganti.
Seandainya kamu bisa membaca perasaanku dan kamu bisa
mengetahui isi otakku, mungkin hatimu yang beku akan
segera mencair. Aku tak tahu apa salahku sehingga kita yang
baru saja kenal, baru saja mencicipi cinta, tiba-tiba
terhempas dari dunia mimpi ke dunia nyata. Tak
penasarankah kamu pada nasib yang membiarkan kita
kedinginan seorang diri tanpa teman dan kekasih?
Aku menulis ini ketika mataku tak kuat lagi menangis. Aku
menulis ini ketika mulutku tak mampu lagi berkeluh. Aku
mengingatmu sebagai sosok yang pernah hadir, meskipun
tak pernah benar-benar tinggal. Seandainya kautahu
perasaanku dan bisa membaca keajaiban dalam
perjuanganku, mungkin kamu akan berbalik arah—memilihku
sebagai tujuan. Tapi, aku hanya persinggahan, tempatmu
meletakan segala kecemasan, lalu pergi tanpa janji untuk
pulang.
Semoga kautahu, aku berjuang, setiap hari untuk
melupakanmu. Aku memaksa diriku agar membencimu,
setiap hari, ketika kulihat kamu bersama kekasih barumu.
Aku berusaha keras, setiap hari, menerima kenyataan yang
begitu kelam.
Bisakah kaubayangkan rasanya jadi orang yang setiap hari
terluka, hanya karena ia tak tahu bagaimana perasaan orang
yang mencintainya? Bisakah kaubayangkan rasanya jadi aku
yang setiap hari harus melihatmu dengannya?
Bisakah kaubayangkan rasanya jadi seseorang yang setiap
hari menahan tangisnya agar tetap terlihat baik-baik saja?
Kamu tak bisa. Tentu saja. Kamu tidak perasa.

2 Komentar:

Pada 14 Mei 2015 pukul 23.44 , Blogger Unknown mengatakan...

Nice kak mel ;) . Nyentuh banget :( :D

 
Pada 27 Mei 2015 pukul 21.58 , Blogger Unknown mengatakan...

Manat menehh :3

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda